Selasa, Ogos 24

Al-Quran: Membentuk Generasi Rabbani

Sumber pokok yang dijadikan rujukan oleh generasi pertama itu ialah Al-Quran, hanya Al-Quran saja. Hadis Rasulullah SAW dan petunjuk-petunjuk beliau adalah semata-mata merupakan penafsiran kepada sumber utama itu. Ketika `Aisyah Radhiallahu'anha ditanya mengenai perilaku dan perjalanan hidup Rasulullah SAW maka beliau menjawab: “Perilaku dan perjalanan hidup beliau [Rasulullah SAW] itu ialah Al-Quran” (Hadis riwayat Nasai)

Hanya Al-Quran sajalah yang menjadi sumber panduan mereka, perjalanan hidup dan gerak-gerik mereka. Ini bukanlah karena umat manusia di zaman itu tidak punya peradaban, tidak punya kebudayaan, tidak punya pelajaran, tidak punya buku karangan dan tidak punya kajian!

Dalil yang terang atas keadaan ini ialah kemurkaan Rasulullah SAW ketika beliau melihat Sayyidina Umar bin Al-Khattab R.A. memegang sehelai kitab Taurat. Melihat keadaan ini beliau pun bersabda: “Demi Allah sekiranya Nabi Musa masih hidup bersama-sama kamu sekarang ini, tidak halal baginya melainkan mesti mengikut ajaranku.” (Hadis riwayat Al-hafidz Abu Ya'la dari Hammad dari Asy-sya'bi dari Jabir)

Yang demikian maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa Rasulullah SAW, bermaksud dan mengarahkan supaya sumber panduan dan pengajaran generasi pertama itu, dalam peringkat pertumbuhan mereka, hanya terbatas kepada kitab Allah (Al-Quran) saja supaya jiwa mereka menyatu dengan programNya yang tunggal itu. Karena itulah beliau murka melihat Umar bin Al-Khattab R.A. mencoba mencari panduan lain selain Al-Quran.

Rasulullah SAW bertujuan membentuk satu generasi yang bersih hatinya, bersih pemikirannya, bersih pandangan hidupnya, bersih perasaannya, dan murnii jalan hidupnya dari unsur lain selain landasan Ilahi yang terkandung dalam Al-Quranul Karim.

Generasi sahabat Rasul menerima panduannya dari sumber yang tunggal. Oleh kerana itulah generasi itu telah berhasil membentuk sejarah gemilang di zamannya. Lalu, apakah yang telah terjadi saat ini?

Memang tak dapat diragukan lagi bahwa bercampur-baurnya sumber panduan itulah yang menjadi faktor utama mengapa generasi berikutnya berlainan sama sekali dari bentuk generasi pertama yang unggul itu.

Mereka, para sahabat Rasulullah di dalam generasi pertama itu, tidak mendekatkan diri mereka dengan Al-Quran dengan tujuan mencari pelajaran dan bahan bacaan. Bukan juga dengan tujuan mencari hiburan dan penglipur lara. Tiada seorang pun dari mereka yang belajar Al-Quran dengan tujuan menambah bekal dan bahan ilmu semata-mata untuk ilmu dan bukan juga dengan maksud menambah bahan ilmu dan akademi untuk mengisi dada mereka saja.

Generasi sahabat mempelajari Al-Quran itu dengan maksud hendak belajar bagaimanakah arahan dan perintah Allah dalam urusan hidup pribadinya dan hidup bermasyarakat. Mereka belajar untuk dilaksanakan dengan segera, seperti seorang perajurit menerima “arahan harian”!

Sikap inilah yang terbentuk: yaitu belajar untuk melaksanakan, yang telah menambah
luasnya lapangan hidup mereka, menambah luasnya ma'rifat dan pengalaman mereka dari ajaran Al-Quran yang tidak mungkin mereka capai kalau sekadar belajar dari Al-Quran dengan tujuan menyelidik dan mengkaji serta membaca saja.

Perasaan belajar untuk melaksanakan ini jugalah yang telah memudahkan mereka bekerja dan meringankan beban mereka yang berat, karena Al-Quran telah menyatu dan menjadi darah daging mereka.

Perasaan ini jugalah yang menjadikan Al-Quran tertanam kuat ke dalam jiwa mereka hingga meresap menjadi panduan dalam gerakan mereka, ia melahirkan pelajaran yang menggerakkan aktivitas, pelajaran yang tidak lagi merupakan teori yang bersarang di dalam kepala manusia dan di halaman kertas dan buku-buku saja. Bahkan ianya menjadi kenyataan yang melahirkan kesan dan peristiwa yang mengubah garisan hidup.

Al-Quran tidak akan memberi dan mencurahkan isi perbendaharaannya kecuali kepada orang yang datang bertumpu kepadanya dengan ruh dan jiwa ini: yaitu ruh dan jiwa ma'rifat yang membuahkan amal dan tindakan.

Al-Quran datang bukan sebagai sebuah buku penglipur lara, bukan sebagai sebuah buku sastera, juga bukan sebagai buku kesenian, sejarah dan novel; ia datang untuk
dijadikan panduan hidup, panduan Ilahi yang tulen; dan Allah SWf sendiri telah
merasmikan Al-Quran ini sebagai garis pemisah di antara hak dan batil.

Firman Allah:
“Dan Al-Quran itu telah Kami bagi-bagikan dia agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dengan lambat dan tenang dan Kami menurunkannya dengan beransur-ansur.” (Al-Isra': 106)

Al-Quran tidak diturunkan sekaligus. Ia diturunkan mengikut keperluan-keperluan yang senantiasa berubah, mengikuti perkembangan fikiran dan pandangan hidup serta perubahan masyarakat. Ia diturunkan mengikuti perkembangan masalah praktis dan fakta kehidupan masyarakat Islam.

Ayat demi ayat diturunkan untuk suasana tertentu dan peristiwa khusus dan untuk
membongkar isi hati manusia; untuk menggambarkan urusan yang mereka hadapi,
dan menggariskan program kerja mereka dalam sesuatu suasana, juga untuk memperbaiki kekhilapan perasaan dan perjalanan hidup, supaya mereka senantiasa
merasa terikat dengan Allah dalam setiap suasana.

Ia diturunkan secara bertahap agar bisa mengajar mereka mengenal Allah SWT melalui sifat-sifatNya dan juga melalui bukti-bukti perkembangan dan perubahan alam. Dengan demikian mereka akan merasakan bahwa diri mereka terus menerus terikat dengan tunduk kepada Allah SWT, terus menerus di bawah perhatian Ilahi.

Ketika itu, mereka merasakan bahwa mereka sedang hidup di bawah pengawasan Allah SWT secara langsung.

Dasar “belajar untuk melaksanakan terus” itu merupakan faktor utama membentuk generasi pertama dahulu, manakala dasar “belajar untuk, dibuat kajian dan penglipurlara” itulah yang merupakan faktor penting yang melahirkan generasi-generasi kemudiannya.

Tidak syak lagi bahwa faktor kedua inilah bukti sebab utama mengapa generasi-generasi yang lain itu berlainan sama sekali dengan generasi pertama, generasi para sahabat Rasulullah SAW.

Di sana ada satu lagi faktor yang mesti diperhatikan dan dicatat benar-benar.
Seorang yang menganut Islam itu sebenarnya telah melepas dirinya dari segala sesuatu di masa lampaunya di alam jahiliyah.

Dia merasakan ketika pertama kali menganut Islam, itulah zaman baru dalam hidupnya; terpisah sejauh-jauhnya dari hidupnya yang lampau di zaman jahiliyah. Sikapnya terhadap segala sesuatu yang berlaku di zaman jahiliyah dahulu ialah
sikap seorang yang sangat berhati-hati dan berwaspada.

Dia merasakan bahwa segala sesuatu di zaman jahiliyah dahulu adalah kotor dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dengan perasaan inilah dia menerima hidayah dan petunjuk Islam yang baru itu dan sekiranya dia didorong oleh nafsunya sesekali, atau sejenak dia merasa tertarik dengan kebiasaannya yang dahulu, atau kalau dia merasa lemah dari menjalankan tugas dan kewajipan keislamannya sesuatu ketika, niscaya dia merasa bersalah dan berdosa.

Dia merasakan dari lubuk hatinya bahwa dia perlu membersihkan dirinya dari apa yang berlaku itu; lalu dia berusaha sedaya upaya mengikuti panduan yang digariskan oleh Al-Quran.

Di sana juga terdapat pemisahan secara total antara zaman lampau seseorang Muslim dalam keadaan jahiliyahnya dengan zaman barunya di dalam Islam, yang akan menimbulkan pula pemisahan secara menyuluruh dalam segenap hubungannya dengan masyarakat jahiliyah.

Kita sekarang sedang berada di tengah-tengah suasana jahiliyah yang serupa dengan suasana jahiliyah yang ada pada zaman kedatangan Islam dahulu. Bahkan, lebih gelap lagi.

Segala sesuatu di sekitar kita ialah jahiliyah konsep hidup manusia sekarang, akidah kepercayaan mereka, adat istiadat dan kebiasan mereka, sumber pelajaran seni dan sastera mereka, peraturan dan undang-undang mereka, hingga banyak perkara yang kita anggap sebagai pelajaran Islam, buku rujukan Islam, falsafah Islam dan pemikiran Islam sebenarnya adalah hasil ciptaan jahiliyah!

Oleh itu, di dalam program gerakan ke-Islaman, kita mesti membebaskan diri di peringkat permulaan, di peringkat taman kanak-kanak lagi, dari berbagai pengaruh jahiliyah yang selalu menghayati kita sekarang.

Kita mesti kembali ke pangkal jalan, kepada sumber yang murni yang telah digali dan ditimba oleh orang-orang sebelum kita; yaitu sumber yang terjamin tidak bercampur baur dengan sumber yang lain.

Kita mesti kembali kepada Al-Quran untuk mendapatkan teori mengenai hakikat wujud seutuhnya dan juga hakikat wujudnya umat manusia dan segala hubungan di antara kedua jenis wujud ini dengan wujud yang hakiki, yaitu wujud Allah SWT.

Dari situlah kita mengambil pandangan terhadap hidup, kita mengambil nilai diri dan akhlak kita, serta kita mengambil panduan dan program pemerintahan, politik, ekonomi dan segala aspek kehidupan kita.

Bila kita kembali kepada Al-Quran, maka kita mestilah kembali berdasarkan kaedah dan dasar “belajar untuk melaksanakan”, bukan dengan kaedah dan dasar belajar untuk sekadar pengetahuan dan menglipur lara.

Kita kembali kepada Al-Quran untuk mengetahui apa yang diinginkan Al-Quran untuk kita lakukan, maka kita lakukan. Dan di dalam perjalanan itu, kita akan bertemu dengan keindahan seni Al-Quran, dengan cerita dan kisah yang heroik dan juga dengan pandangan-pandangan kiamat di dalam Al-Quran, juga dengan logika kesedaran hati nurani di dalam Al-Quran, dan juga dengan semua yang dicari-cari oleh para peneliti...

Ya, kita akan jumpai semuanya itu. Bukan dengan maksud hendak belajar dan menglipur lara tapi dengan tujuan utama hendak mengetahui apakah pekerjaan yang Al-Quran kehendaki untuk kita kerjakan? Apakah konsep umum yang Al-Quran kehendaki untuk kita berkonsep? Bagaimanakah tuntutan Al-Quran mengenai pandangan dan perasaan kita terhadap Allah SWT? Dan bagaimanakah tuntutan Al-Quran mengenai akhlak kita, realitas hidup kita, dan bagaimanakah corak sistem kita di dalam hidup ini?

Kemudian kita mesti membebaskan diri dari kungkungan masyarakat jahiliyah, dari kungkungan konsep jahiliyah, dari adat busuk jahiliyah dan juga dari pimpinan ala
jahiliyah di dalam hidup diri kita sendiri.

Bukanlah tugas kita untuk berkompromi dengan realitas masyarakat jahiliyah sekarang dan bukan untuk tunduk dan menumpahkan kesetiaan kepadanya. Sebab keadaan realitas jahiliyah itu tidak memungkinkan kita berkompromi dengannya sama sekali.

Tugas utama kita ialah mengubah realitas masyarakat ini. Tugas utama kita ialah mencabut realitas jahiliyah itu dari akarya, realitas yang bertentangan dan melanggar secara prinsif dengan aspirasi Islam dan dengan konsep Islam. Realitas yang menghalang kita dengan menggunakan kekerasan dan tekanan dari kita hidup seperti yang dikehendaki oleh program Ilahi.

Langkah pertama di dalam perjalanan kita ialah menghapuskan masyarakat jahiliyah ini, nilai-nilai dan teori-teorinya. Kita tidak boleh melakukan penyesuaian sedikit
pun untuk kemudian berharap bisa mencari irisan di dalamnya. Sekali lagi tidak!

Karena jalan kita adalah berlainan dan bersimpangan dengan jalan jahiliyah. Seandainya kita mencoba berjalan seiring dengannya, walaupun cuma selangkah, niscaya kita kehilangan pedoman dan kita akan meraba dalam kesesatan.

Adalah baik sekali bagi kita untuk tetap menyadari bentuk program dan landasan kita, menyadari tabiat sikap kita dan juga tabiat jalan yang mesti kita lalui untuk keluar dari suasana jahiliyah yang telah dilalui oleh generasi yang agung dan unik itu.